Free Trade Agreement (FTA) antara ASEAN dan China baru saja diberlakukan per 1 Januari 2009 kemarin. Kebijakan ini dirasa akan banyak menimbulkan dampak negatif terutama dalam hal konsumsi produk dalam negeri. Kebijakan ini akan membuat distribusi barang-barang dari China semakin lancar. Produk-produk China akan semakin mudah masuk ke pasaran dalam negeri.
Produk-produk China memang telah banyak beredar di pasaran. Diberlakukannya FTA itu membuat produk-produk tersebut semakin membanjiri pasar di Indonesia. Produk-poduk China yang telah beredar di Indonesia diantaranya adalah produk kosmetik, tekstil, mainan anak-anak, dan jamu-jamu tradisional.
Produk yang disororti adalah produk kosmetik. China menawarkan produk kosmetiknya dengan harga relatif murah. Produk-produk murah tersebut banyak di pasarkan di pasar tradisional di Indonesia. Ya..tawaran yang cukup menarik saya rasa. Dengan harga relatif murah bisa menghasilkan kulit putih dan cantik. Produk lokal yang mempunyai kualitas yang tak kalah baik tentunya akan semakin berat untuk bersaing di pasaran Indonesia. Produk kosmetik dalam negeri terbilang relatif masih cukup mahal dibanding dengan produk China tersebut. Persaingan produk dalam negeri akan semakin ketat mengingat akan hadir pesaing baru bagi mereka.
Namun belakangan ternyata diketahui bahwa produk kosmetik China tersebut mengandung bahan-bahan berbahaya, seperti Mercury, hydrocinon, asam retinoit,serta zat warna prodamin. Bahkan disinyalir bahwa produk-produk tersebut produk ilegal. Tidak ada ijin dari BPOM.
Jika Produk China bakal mendominasi pasar lokal konsumen dan industri kosmetik dalam negeri bisa dirugikan untuk itu perlunya pengawasan yang ketat untuk melindungi konsumen dan industri dalam negeri dari benturan produk China.
Perlu adanya pengawasan lebih ketat dari BPOM terkait produk-produk ilegal dan berbahaya yang masuk ke dalam negeri. Kemudian terkait persaingan dengan industri dalam negeri, pemerintah hendaknya dapat membantu melancarkan pemasaran produk dalam negeri.
Menurut Kurnia Asih, pengurus YLKI(Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) ketika diwawancarai Metro TV kemarin (09/01), produk lokal tidak kalah berkualitas dengan produk China, hanya saja pemerintah hendaknya dapat membantu industri lokal untuk meminimalkan biaya-biaya yang masih memberatkan industri lokal, seperti biaya bunga bank skala Rumah Tangga yang masih cukup, biaya kelistrikan, serta biaya trasnportasi. Sehingga harga-harga produk industri lokal dapat lebih terjangkau oleh masyarakat Indonesia.
Masyarakat juga hendaknya tidak dengan mudah tergiur dengan harga terjangkau dengan harga murah untuk lebih cantik dan putih. Jadi jangan mudah tergoda untuk produk yang lebih murah karena siapa tahu akan masuk dalam perangkap berbahaya.
So, tetap cintai produk dalam negeri ya :)
Sabtu, 09 Januari 2010
“Diet Sinetron” Yuk...
Masih ingatkah dengan ”Azizah” (SCTV), ”Intan”(RCTI), atau sekarang yang terbaru ” Hafidza”(SCTV) dan ”Bayu Cinta Luna”(SCTV)? Atau dengan ”Cinta Bunga”(SCTV), ”Cinta Fitri”(SCTV)? Bahkan akan segera tayang adalah ”Cinta Fitri Season 5”. Ya, itulah sederetan judul sinetron yang menjamur di televisi dan ternyata semakin menggemuk saja jumlah tayangan sinetron yang ada di televisi saat ini.
Adanya sinetron bermula dari para pembuat film di era 1990-an yang mulai memproduksi film di televisi. Awalnya mereka banyak memproduksi film-film yang bertemakan mistis, laga, dan erotis yang ditayangkan di bioskop.
Film-film tersebut awalnya mengandung plot cerita yang kuat dan bagus. Akan tetapilama kelamaan film-film tersebut hanya sekedar menjual unsur seksualitas (terutama film-film erotis) dan semakin lama semakim tidak bermutu. Nah disinilah para pembuat film tersebut beralih berkarya dengan memproduksi film melalui televisi. Disinilah sinetron mulai dibuat. Sinetron adalah akronim dari sinema elektronik. Berisikan sandiwara bersambung yang ditayangkan melalui media elektronik, yaitu televisi.
Sinetron yang populer pertama adalah ”Si Doel Anak Sekolahan” yang diproduksi dan dibintangi oleh Rano Karno. Si Doel Anak Sekolahan sangat populer pada masa itu karena selain plot ceritanya yang bagus, pesan dari sinetron tersebut juga baik dan mengena. Dari situ bisa memetik teladan dari seorang Doel yang anak sekolahan, berbakti kepada orang tuanya, spiritualitasnya pun dinilai baik. Selain itu ada juga serial ”Keluarga Cemara”. Serial televisi yang sarat pesan moral didalamnya.
Setelah itu, semakin lama sinetron semakin populer hingga masyarakat semakin tertarik untuk menyimak sinetron-sinetron selanjutnya yang akan disuguhka oleh televisi. Namun kepopuleran sinetron lama kelamaan malah semakin mebuat pemroduksinya lupa diri, tidak lagi menonjolkan kekuatan cerita sebagai daya tarik hasil karyanya yang berkualitas, akan tetapi pembuat sinetron sekarang cenderung hanya mencari keuntungan dengan membuat sinetron yang menurut saya semakin tidak memenuhi standar kualitas tayangan yang baik dan mendidik.
Kita coba cermati kebanyakan sinetron yang muncul di televisi sekarang. Dari segi karakter tokohnya, memperlihatkan karakter-karakter yang berlebihan. Misalnya karakter seorang gadis yang digambarkan sangat menderita lantaran memiliki saudara yang bersifat jahat. Adegan kekerasan yang dilakukan oleh si tokoh antagonis dengan cara misalnya menampar lawan mainnya (tokoh protagonis).
Kemudian setting tempat yang dilakukan adalah bercermin pada kemewahan-kemewahan. Rumah mewah, mobil mewah, padahal mayoritas masyarakat kita (terutama penikmat sinetron) adalah masyarakat dengan skala ekonomi menengah ke bawah. Hal itu hanya akan menggiurkan masyarakat tersebut untuk berandai-andai memiliki apa yang disuguhkan oleh sinetron. Selain itu adalah alur cerita yang berbelit-belit, tema yang monoton dan panjang episodenya. Tentunya sangat diuntungkan bagi produser sinetron jika sinetron tersebut semakin lama tayang apalagi jika memiliki rating tinggi. Profit yang didapatkan akan semakin besar.
Semua ini seolah-olah mengulang kejadian lama dari dunia perfilman itu sendiri. Insan perfilman seolah sudah tak ada ide memproduksi tayangan-tayangan berkualitas yang mendidik masyarakatnya, ataukah hanya profit yang dikejar sehingga tanggung jawab terhadap publiknya dilepasnya begitu saja.
Akankah masyarakat kita akan terus menerus disuguhi dengan tayangan-tayangan yang memang tidak ada unsur yang mendidik apalagi mencerdaskan di dalamnya? Sudah saatnya masyarakat kita diajak untuk melakukan perampingan-perampingan melakukan aktifitas menonton sinetron tersebut. Mengajak masyarakat untuk melakukan ”Diet Sinetron”. Seperti halnya yang sempat dilakukan oleh teman-teman mahasiswa kita dari Diponegoro Media Watch (DMW)-HMJ Ilmu Komunikasi FISIP Undip. Mereka mengusung tema ”Diet Sinetron”. Mengajak masyarakat sekitar Universitas Diponegoro semakin sadar tentang banyaknya mudlorot dari sinetron.
Memang sudah saatnya masyarakat kita diajak untuk lebih ”melek” terhadap media. Agar tak lagi dibohongi oleh unsur kapitalis yang berperan dibalik produksi-produksi tayangan televisi. Sudah sanggup untuk lakukan ”Diet Sinetron”?
Adanya sinetron bermula dari para pembuat film di era 1990-an yang mulai memproduksi film di televisi. Awalnya mereka banyak memproduksi film-film yang bertemakan mistis, laga, dan erotis yang ditayangkan di bioskop.
Film-film tersebut awalnya mengandung plot cerita yang kuat dan bagus. Akan tetapilama kelamaan film-film tersebut hanya sekedar menjual unsur seksualitas (terutama film-film erotis) dan semakin lama semakim tidak bermutu. Nah disinilah para pembuat film tersebut beralih berkarya dengan memproduksi film melalui televisi. Disinilah sinetron mulai dibuat. Sinetron adalah akronim dari sinema elektronik. Berisikan sandiwara bersambung yang ditayangkan melalui media elektronik, yaitu televisi.
Sinetron yang populer pertama adalah ”Si Doel Anak Sekolahan” yang diproduksi dan dibintangi oleh Rano Karno. Si Doel Anak Sekolahan sangat populer pada masa itu karena selain plot ceritanya yang bagus, pesan dari sinetron tersebut juga baik dan mengena. Dari situ bisa memetik teladan dari seorang Doel yang anak sekolahan, berbakti kepada orang tuanya, spiritualitasnya pun dinilai baik. Selain itu ada juga serial ”Keluarga Cemara”. Serial televisi yang sarat pesan moral didalamnya.
Setelah itu, semakin lama sinetron semakin populer hingga masyarakat semakin tertarik untuk menyimak sinetron-sinetron selanjutnya yang akan disuguhka oleh televisi. Namun kepopuleran sinetron lama kelamaan malah semakin mebuat pemroduksinya lupa diri, tidak lagi menonjolkan kekuatan cerita sebagai daya tarik hasil karyanya yang berkualitas, akan tetapi pembuat sinetron sekarang cenderung hanya mencari keuntungan dengan membuat sinetron yang menurut saya semakin tidak memenuhi standar kualitas tayangan yang baik dan mendidik.
Kita coba cermati kebanyakan sinetron yang muncul di televisi sekarang. Dari segi karakter tokohnya, memperlihatkan karakter-karakter yang berlebihan. Misalnya karakter seorang gadis yang digambarkan sangat menderita lantaran memiliki saudara yang bersifat jahat. Adegan kekerasan yang dilakukan oleh si tokoh antagonis dengan cara misalnya menampar lawan mainnya (tokoh protagonis).
Kemudian setting tempat yang dilakukan adalah bercermin pada kemewahan-kemewahan. Rumah mewah, mobil mewah, padahal mayoritas masyarakat kita (terutama penikmat sinetron) adalah masyarakat dengan skala ekonomi menengah ke bawah. Hal itu hanya akan menggiurkan masyarakat tersebut untuk berandai-andai memiliki apa yang disuguhkan oleh sinetron. Selain itu adalah alur cerita yang berbelit-belit, tema yang monoton dan panjang episodenya. Tentunya sangat diuntungkan bagi produser sinetron jika sinetron tersebut semakin lama tayang apalagi jika memiliki rating tinggi. Profit yang didapatkan akan semakin besar.
Semua ini seolah-olah mengulang kejadian lama dari dunia perfilman itu sendiri. Insan perfilman seolah sudah tak ada ide memproduksi tayangan-tayangan berkualitas yang mendidik masyarakatnya, ataukah hanya profit yang dikejar sehingga tanggung jawab terhadap publiknya dilepasnya begitu saja.
Akankah masyarakat kita akan terus menerus disuguhi dengan tayangan-tayangan yang memang tidak ada unsur yang mendidik apalagi mencerdaskan di dalamnya? Sudah saatnya masyarakat kita diajak untuk melakukan perampingan-perampingan melakukan aktifitas menonton sinetron tersebut. Mengajak masyarakat untuk melakukan ”Diet Sinetron”. Seperti halnya yang sempat dilakukan oleh teman-teman mahasiswa kita dari Diponegoro Media Watch (DMW)-HMJ Ilmu Komunikasi FISIP Undip. Mereka mengusung tema ”Diet Sinetron”. Mengajak masyarakat sekitar Universitas Diponegoro semakin sadar tentang banyaknya mudlorot dari sinetron.
Memang sudah saatnya masyarakat kita diajak untuk lebih ”melek” terhadap media. Agar tak lagi dibohongi oleh unsur kapitalis yang berperan dibalik produksi-produksi tayangan televisi. Sudah sanggup untuk lakukan ”Diet Sinetron”?
Rabu, 06 Januari 2010
TIPS BERSAHABAT DENGAN TV
Ada sedikit tips tentang bagaimana cara orang tua dan anak dapat bersahabat dengan Televisi:
1. Lakukan Pembatasan
Orang tua harus memiliki sikap tegas kepada anak tentang pembatasan dalam menikmati sajian TV. Misal anak-anak hanya punya waktu 2 jam untuk menonton TV dalam sehari. Mengenai acaranya, pilih acara TV yang mendidik. Jangan ada TV di kamar tidur karena akan mengganggu anak-anak beristirahat. TV di kamar tidur hanya akan memberikan kesempatan lebih kepada anak untuk dapat menonton TV tanpa batasan.
2. Lihat Acaranya
Orang tua isa memilih acara yang anak-anak suka. Misal pada jam 08.00 – o8.30 menonton serial Dora, pukul 08.30 sampai 09.00 menonton acara anak-anak yang mendidik lainnya sampaipada pukul 09.00. Begitu waktu mendekati pukul 09.00 matikan TV dan ajak anak bermain yang lain. Katakan juga padanya bahwa TV akan dinyalakan lagi pada pukul 17.00 hingga 17.30, dan seterusnya.
Mungkin pada awalnya akan ada perlawanan dari anak. Akan tetapi, orang tua jangan bosan memberikan pengertian kepada anaknya.
Jangan lupa ketika TV sudah mati, siapkan permainan yang tak kalah seru atau materi belajar yang menarik bagi sang anak. Sebisa mungkin materi itu berkaitan dengan materi pembelajaran yang ditonton dari TV tadi agar anak bisa lebih memahami materi pembelajaran apa yang disampaikan oleh tayangan yang mereka tonton tadi.
3. Pilih Acara yang Tenang
Sebisa mungkin carilah acara yang dapat membuat anak terlibat dalam interaksi seperti menyanyi, menari, dan bergerak. Jauhkan anak-anak dari acara kekerasan (meskipun itu film kartun sekalipun), termasuk Tom & Jerry.
4. Dampingi Anak
Dampingi anak ketika sedang menonton acara TV. Jangan biarkan dia menonton sendirian sehingga akan menelan mentah-mentah seluruh materi yang disuguhkan oleh TV. Berikan penjelasan terkait materi, atau tambah sedikit cerita lagi agar dia paham. Ini bisa dilakukan ketika jeda iklan.
5. Lengkapi Materi Tontonan
Ada baiknya selesai acara, materi yang tadi ditonton anak diteruskan dalam permainan. Misalnya ketika Dora berhasil naik gunung, lanjutkan dengan permainan mewarnai gunung, pohon, dan sungai. Ketika Dora membutuhkan 3 koin untuk naik ke perahu, lanjutkan dengan belajar berhitung.
Semua ini memang menuntut orang tua untuk aktif dalm memandu sang anak. Namun untuk orang tua yang tak bisa mendampingi anak setiap hari, sampaikan cara ini kepada pengasuhnya. Beri pengertian agar jangan sampai anak disuguhi sinetron sepanjang hari. Jika orang tua mau menonton, pilihlah saat anak sedang tidur.
Semoga Bermanfaat :)
Waspada Tayangan Kekerasan
Televisi menyuguhkan tayangan beragam bagi publiknya. Namun tidak semua tayangan televisi memuat nilai positif. Televisi pun bisa menjadi hantu yang menakutkan bagi anak-anak. Buruknya kualitas acara untuk anak-anak di televisi juga tampak dari hasil pemantauan 100 relawan bandung tv watch yang menyimpulkan bila acara – acara di televisi tidak mengajak masyarakat untuk berpikir dan menambah wawasan pengetahuan, tetapi lebih mengajak masyarakat untuk menghibur diri. Kondisi di atas tentu memberikan pengaruh negatif kepada anak.
Kita coba ingat kasus yang menimpa anak-anak yang menjadi korban atas tayangan buruk televisi. Revino Siahaya, anak berusia 10 tahun, yang bunuh diri akibat meniru gaya dalam film kartun Naruto. Roby Arsadani siswa kelas VI SD tangannya dipelintir dan lehernya dipiting, kemudian kepalanya dihantamkan ke papan tulis, sampai berulang kali oleh temannya, meninggal bulan Desember 2006 atas ulah temannya, Sa, yang menirukan aksi smack down (Sumut). 16 november 2006, siswa kelas 3 SD, Reza Ikhsan Fadillah (9) meninggal dunia, setelah di-smack tiga temannya. Alan Dwi Kurniangga (3,5) yang meninggal pada 16 desember 2006 setelah di-smack down Dya (7), teman sepermainannya yang masih duduk di kelas 1 SD (Malang). Belum lagi kasus anak-anak yang gantung diri, melakukan pelecehan seksual ataupun melakukan kekerasan fisik dan verbal setelah menonton televisi. Kisah tersebut hanya satu dari segelintir contoh aksi yang dilakukan anak akibat tontonan televisi.
Kejadian-kejadian memilukan tersebut adalah sinyal bahwa KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) harus bekerja lebih ekstra lagi mengenai filter tayangan-tayangan televisi yang bermasalah sebelum dampaknya. Terkadang KPI dirasa tidak memiliki taring tajam untuk mengatur tayangan-tayangan seperti ini.
Tayangan kekerasan tak hanya milik smack down. Tayangan sinetron juga mengandung kekerasan ketika terjadi adegan saling tampar antar pemain. Sinetron di tayangkan pada jam tayang keluarga antara pukul 7 sampai 9 malam. Anak tidak bisa menghindar untuk melihat adegan tersebut ketika orang tua sang anak asyik menikmati sinetron tersebut. Nah disini orang tua memiliki peranan yang sangat vital bagi tumbuh kembang anak untuk cerdas dalam memilih tayangan televisi.
Peran Orang Tua
Peran orang tua meminimalkan dampak buruk televisi tak bisa diabaikan. Sikap orang tua terhadap TV akn mempengaruhi perilaku anak. Sebaiknya orang tua lebih dulu membuat batasan pada dirinya sendiri sebelum menentukan batasan bagi anaknya-anaknya. Biasanya saat lelah atau bosan orang tua suka menonton TV. Jadi waktu-waktu yang dipilih adalah waktu-waktu primetime tayangan keluarga di TV.<Orang tua berusaha untuk melakukan aktifitas lain dikala senggang untuk mengenalkan pada anak bahwa ada aktifitas lain yang bisa dilakukan selain menonton TV ketika waktu luang. TV hanya dijadikan sebagai bagian kecil dari keseimbangan anak. Anak-anak memiliki cukup waktu untuk bermain bersama teman-teman, membaca cerita, istirahat, jalan-jalan, dan menikmati kebersamaan bersama keluarga. Hal terpenting adalah anak-anak diikutsertakan dalam membatasi tontonannya sendiri agar anak bisa menjadikan kegiatan menonton TV hanya sebagai piliha bukan kebiasaan. Masalah jenis program yang ditonton sangat penting untuk dipertimbangkan. Pendampingan orang tua pada anak ketika mereka menonton TV sangatlah penting. Kadang ada tayangan yang bisa memberi nilai pean yang baik, namun di dlamnya terdapat pula bahasa yang kurang sopan, dsb.
Orang tua berperan dari internal keluarga. Akan tetapi dari pihak media harus punya agenda setting yang jelas dan mencerdaskan. Tak hanya menyajikan tayangan yang menguntungkan pihak media, namun media punya tanggung jawab atas publiknya akibat tayangan yang disiarkan. Tak ada lagi "kekerasan dalam media".
referensi
Langganan:
Postingan (Atom)