Selasa, 29 Desember 2009

MEMAHAMI MAKNA SYAWALAN SESUNGGUHNYA

Idul Fitri menandai bergantinya bulan Ramadhan menuju bulan Syawal. Sepekan usai merayakan hari kemenangan, orang Jawa mengenal istilah Syawalan. Tradisi ini bagi masyarakat Jawa sudah menjadi ritual rutin yang digelar sepekan setelah Idul Fitri atau setelah menjalankan puasa Syawal selama enam hari. Syawalan sudah menjadi tradisi di berbagai daerah di Jawa Tengah dan berbeda-beda cara yang dilakukan di masing-masing daerah.

Syawalan Kaliwungu

Di Kaliwungu Kendal, misalnya, tradisi Syawalan ini sudah mengakar sejak puluhan tahun yang lalu. Ritual ini sebagai wujud penghormatan kepada orang-orang shaleh atau ulama’ pemimpin masa lalu. Masyarakat Kaliwungu mengawali prosesi Syawalan dengan mengunjungi atau menziarahi para makam ulama setempat atau tokoh agama yang sangat disegani dan dihormati, salah-satunya Kyai Asy’ari (Kyai Guru) sekaligus memperingati wafatnya sang tokoh atau populer disebut dengan khoul.

Prosesi Syawalan ini dibuka dengan prosesi kirab kain kelambu untuk makan K.H. Asy’ari dari halaman masjid Al Muttaqien Kaliwungu menuju makam tokoh penyebar agama Islam tersebut di Desa Protomulyo, Kecamatan Kaliwungu Selatan.
Puncak dari segala puncak acara syawalan ini adalah prosesi penggantian “Luwur” (kelambu) penutup makam KH Asyari di jabal kidul desa Protomulyo (satu komplek dengan makam Sunan Katong). Di sinilah nisan setinggi satu meter milik Kyai Guru yang selalu di tutup kelambu putih, dimana pada bulan syawal kelambu tersebut selalu diganti yang baru. Sementara yang lama disimpan di masjid Al-Muttaqin Kaliwungu, Setelah itu di lanjutkan acara ritual di makam Kyai Asy’ari di awali dengan pembukaan, pembacaan riwayat hidup singkat Kyai Asy’ari, pembacaan tahlil kubro hingga doa untuk para arwah leluhur yang dimakamkan di pemakaman Protomulyo dan Kutoharjo bersama para ulama Kaliwungu dan ribuan kaum muslim. Banyak peziarah yang datang ke prosesi tersebut.

Banyak peziarah yang datang ke Syawalan tersebut. Namun belakangan peziarah yang datang ke Syawalan bukan hanya untuk mengenamg jasa-jasa para leluhur yang telah memperjuangkan agama Islam, akan tetapi mengharap untuk mendapat berkah, manfaat serta ma’unahnya (pertolongan) darinya. Banyak yang minta dikabulkan cita-citanya, usaha dapat lancar, cepat naik pangkat, bagi masyarakat khususnya petani, pedagang menganggap akan mendapat berkah yang banyak.

Seperi inikah sebenarnya output yang ingin dicapai dalam tradisi yang terus dilestarikan bertahun-tahun tersebut?

Jika ditilik dari sejarah Syawalan sendiri, orang Jawa mengenal tiga istilah “hari raya”, yaitu Bada Besar, Bada Gedhe, dan Bada Kupat. Bada Besar menagacu pada hari raya Idul Adha, Bada Gedhe terkadang disebut hari Lebaran atau istilah lain disebut Idul Fitri, sementara Bada Kupat juga disebut sebagai Bada Syawal yaitu hari raya yang merujuk pada tanggal Syawal dan belakangan disebut Syawalan.

Bada sendiri berasal dari kata bakda dari bahasa Arab yang berarti selesai. Arti dari Bada Syawal adalah selesai atau menyudahi menjalankan puasa enam hari setelah bulan Ramadhan. Pada Bada Syawal ini dulu awalnya masyarakat membiasakan bersilaturrahim kepada kerabat dan gurunya untuk saling meminta maaf dan saling mendoakan.

Masyarakat Kaliwungu dikenal dengan kota santri karena banyak pesantren menjamur di daerah Kaliwungu. Sehingga tradisi silaturrahim ini tak hanya dilakukan oleh masyarakat awam sekitar namun juga dilakukan secara kapasitas yang besar antara santri kepada kyainya. Kyai yang sudah wafat tetap diziarahi di makamnya. Pada awalnya hanya kalangan santri dari kyai tersebut, namun lalma kelamaan masyarakat sekitar bakan merambah ke daerah lain juga melakukn ziarah ke makam Kyai tersebut. kyai yang paling dihormati adalah K.H. Asy’ari (kyai guru). Semakin lama semakin banyak peziarah yang dating setiap tahunnya apalagi ketika bulan Syawal tiba. Sebagai bentuk penghormatan kepada kyai guru, para ulama’ di kaliwungu seakat untuk menyelenggarakan tradisi syawalan yang tujuannya adalah untuk mendoakan kepada almarhum ulama’-ulama’ Kaliwungu yang telah meninggal karena begitu banyaknya jasa yang telah ditorehkan para ulama’ tersebut untuk kaliwungu. Jika belakangan banyak masyarakat yang dating ke makam di luar tujuan tersebut, itu adalah suatu bentuk penyimpangan terhadap nilai-nilai keislaman yang dijunjung para ulama’ di Kaliwungu tersebut.

Hal ini perlu diluruskan mengingat dalam syari’at Islam, tidak diperbolehkan meminta berkah dari makhluk Allah yang telah wafat. Itu namanya syirik. Para ulama’ Kaliwungu akan merasa gagal jika output dari kegiatan tersebut tidak bayak menimbulkan manfaat untuk mendekatkan diri pada Allah, malah justru menimbulkan kesyirikan pada Allah. Hendaknya masyarakat juga bisa semakin cerdas memaknai suatu kegiatan ritual keagamaan yang esensinya dapat diambil hikmah dan manfaatnya.

Referensi:
Thohir, M, dkk. 2001. Menyoal Kota Santri Kaliwungu: Sebuah Ikhtiar Berkaca Diri. Kendal: Panitia Festifal Al Muttaqin IV.

Ramadhan, Topeng Keimanan Sesaat?

Ramadhan Mubarok kembali hadir bersama kita semua. Bulan penuh rahmat nan ampunan ini telah berjalan setengah bulan lamanya. Telah menjadi pemandangan yang wajar ketika Ramadhan tiba. Orang-orang berbondong-bondong ke masjid, intensitas menghadiri majelis-majelis dzikir lebih tinggi, ibadah ruhiyah serta jasadiyah gencar dilakukan. Namun akankah itu benar-benar pribadi mereka yang nyata ataukah hanya sekedar “Topeng Keimanan” sesaat?

Topeng itu penutup wajah agar tidak kelihatan aslinya, sehingga orang lain tidak akan pernah bisa melihat siapa di balik topeng tersebut. Bahkan seorang polisi ketika menggiring pesakitan ke penjara selalu di kasih topeng wajahnya.

Begitu halnya dengan Ramadhan. Tidak sedikit kaum muslim yang mengenakan “topeng” keyika bulan Ramadhan. Seperti halnya,selebritis yang sebelumnya berani dan sengaja mempertontonkan lekuk-lekuk tubuhnya praktis berubah menjadi ’Peri’, seperti di sinetron Bidadari (yang pernah diperankan oleh Marshanda) atau sinetron Puteri Cahaya. Pejabat yang populer karena sering menjalani pemeriksaan KPK tiba-tiba berbalut pakaian religi. Anggota Dewan yang terhormat, yang biasanya kita dengar hampir selalu bicara kekuasaan dan ketidakpuasan ketika Ramadhan berlomba untuk bersodaqoh kepada kaum membutuhkan. Hal ini terjadi karena memang kegunaan Topeng Ramadhan memang untuk merubah bentuk dan karakter seseorang seperti keinginan si pemakainya.

Ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan tentang gejala sosial selama Ramadhan dan puncak "kemenangan" yaitu Idul Fitri. Adapun gejala sosial muncul dalam "penggiringan" nilai Ramadhan itu sendiri ke materialisasi keimanan dalam berbagai bentuk. Namun semua itu justru menunjukkan topeng keimanan sesaat.


1. Dari Mal kembali ke masjid

Tidak dapat dipungkiri, saat Ramadhan tiba, masjid-masjid yang biasa sepi kini menjadi ramai. Shaf shalat yang sebelum Ramadhan hanya terisi 1-2 shaf ketika Ramadhan menjadi luber. Jalanan sepi, semua tenggelam dalam “gelombang” kesadaran; “ramadhan tiba, pembebasan api neraka, jadi manfaatkan sebaik-baiknya.

Namun ironisnya, menjelang Idul Fitri, menjelang Lailatul Qadar yang dijanjikan, orang yang beribadah ke masjid semakin berkurang. Kemana perginya mereka?

Coba tengok mal-mal kita. Parkir kendaraan mal penuh setelah maghrib, toko pakaian, perhiasan, elektronika disesaki pembeli. Ini semua didukung euphoria diskon belanja besar-besaran. Semua memanfaatkan masa Ramadhan, atas dasar pikiran bahwa “kemenangan” ditandai dengan sesuatu yang baru. Penggiringan nilai-nilai Idul Fitri melalui iklan-iklan di televisi yang gencar mulai menampakkan hasilnya.

2. Dari hiburan ke tausiyah, kembali ke hiburan

Ikon masyarakat seperti artis-artis yang biasa yampil seronok menjadi ‘alim. “Dalam rangka menghormati bulan suci”, kata mereka. Tentu saja ini menggiring masyarakat untuk mengidentifikasi pakaian muslim sebagai pakaian pakaian ramadhan dan lebaran. Bulan suci tidak untuk dihormati. Allah menciptakan Ramadhan agar kita dapat menghormati diri kita sendiri sebagai manusia dengan fitrahnya, termasuk menutup aurat dan menjadikan kita manusia terhormat. Sungguh salah kaprah.
Mari kita tengok acara- acara pengiring sahur dan berbuka di televisi. Pembagian hadiah dalam kuis- kuis, hiburan dan banyolan yang tidak islami (pria berdandan selayaknya wanita, misalnya), bahkan sinetron- sinetron yang mengusung nilai religiusitas adalah "komoditas". Ajang perebutan segmentasi iklan. Hanya beberapa yang menyuguhkan program berkualitas, misalnya Tafsir Al Mishbah. Menariknya, setelah itu, konsep kemenangan adalah konsep yang ditafsirkan ke kebebasan berekspresi.

3. Dari antroposentris, altuitris kembali ke antroposentris

Menarik bagaimana banyak yayasan-yayasan sosial berdatangan saat Ramadhan, mulai dari meminta sumbangan untuk ta’jil yatim hingga zakat. Empati sosial ini terkadang dibangun atas dasar “keterpaksaan” karena menginginkan “pahala” berlipat. Ketika pahalanya besar, bersadaqah, berzakat, membantu yatim. Nanti setelah ramadhan, bisa dikurangi, karena pahalanya tidak sebesar saat Ramadhan. Ini altruistis atau antroposentris?? Empati sosial berkedok keimanan.

Luar biasa dampak dari Topeng Ramadhan. Demi Ramadhan, mereka berubah diri dan karakternya. Merubah wujud dan wajahnya. Dengan bahasa yang lebih halus, namun agak tersendat masuk dalam kerongkongan dan mendarat tak mulus di hati masyarakat.

Mari sedikit kita renungkan, bagaimana Ramadhan kita kali ini? Terkadang kita mengenakan topeng namun tidak kita sadari. Ketika kita benar-benar bertaubat di bulan Ramadhan, sudahkah kita memang benar-benar melakukan taubatan nasuha? Ataukah hanya sekedar taubat sambal? Wallahu a’lam. Sejatinya, satu bulan Ramadhan adalah penentuan baik buruknya kita 11 bulan ke depan pasca Ramadhan.

Topeng Ramadhan bukanlah maknawiyah dari keburukan, bukan pula kiasan dari kata kejelekan. Topeng Ramadhan hanyalah ekspresi spontanitas sebagian masyarakat atas kondisi umat Islam yang membutuhkan ketenangan, membutuhkan penampilan lain demi kesucian diri dan kekhusyu’an ibadah. Tidak ada yang melarang memakai topeng Ramadhan karena sejatinya topeng hanya sebuah aksesoris untuk memperindah diri. Akan tetapi tidakkah kita malu mempersembahkan “hadiah” padaNya namun tidak dengan wajah yang sebenarnya...? Kalau untuk menegakkan kebenaran, kebenaran Ramadan, kebenaran Islam, kebenaran bersatu, kebenaran kedamaian dan kebenaran apapun, kenapa kita harus menggunakan topeng? Kini Ramadhan sedang merengkuh kita dengan berbagai kebaikan, sehingga disebutlah Ramadhan Mubarok, Ramadhan Rahmat, Ramadhan Maghfirah, dan hendaknya semuanya tidak kita ubah menjadi Ramadhan Bertopeng atau TOPENG RAMADHAN.