Selasa, 29 Desember 2009

Ramadhan, Topeng Keimanan Sesaat?

Ramadhan Mubarok kembali hadir bersama kita semua. Bulan penuh rahmat nan ampunan ini telah berjalan setengah bulan lamanya. Telah menjadi pemandangan yang wajar ketika Ramadhan tiba. Orang-orang berbondong-bondong ke masjid, intensitas menghadiri majelis-majelis dzikir lebih tinggi, ibadah ruhiyah serta jasadiyah gencar dilakukan. Namun akankah itu benar-benar pribadi mereka yang nyata ataukah hanya sekedar “Topeng Keimanan” sesaat?

Topeng itu penutup wajah agar tidak kelihatan aslinya, sehingga orang lain tidak akan pernah bisa melihat siapa di balik topeng tersebut. Bahkan seorang polisi ketika menggiring pesakitan ke penjara selalu di kasih topeng wajahnya.

Begitu halnya dengan Ramadhan. Tidak sedikit kaum muslim yang mengenakan “topeng” keyika bulan Ramadhan. Seperti halnya,selebritis yang sebelumnya berani dan sengaja mempertontonkan lekuk-lekuk tubuhnya praktis berubah menjadi ’Peri’, seperti di sinetron Bidadari (yang pernah diperankan oleh Marshanda) atau sinetron Puteri Cahaya. Pejabat yang populer karena sering menjalani pemeriksaan KPK tiba-tiba berbalut pakaian religi. Anggota Dewan yang terhormat, yang biasanya kita dengar hampir selalu bicara kekuasaan dan ketidakpuasan ketika Ramadhan berlomba untuk bersodaqoh kepada kaum membutuhkan. Hal ini terjadi karena memang kegunaan Topeng Ramadhan memang untuk merubah bentuk dan karakter seseorang seperti keinginan si pemakainya.

Ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan tentang gejala sosial selama Ramadhan dan puncak "kemenangan" yaitu Idul Fitri. Adapun gejala sosial muncul dalam "penggiringan" nilai Ramadhan itu sendiri ke materialisasi keimanan dalam berbagai bentuk. Namun semua itu justru menunjukkan topeng keimanan sesaat.


1. Dari Mal kembali ke masjid

Tidak dapat dipungkiri, saat Ramadhan tiba, masjid-masjid yang biasa sepi kini menjadi ramai. Shaf shalat yang sebelum Ramadhan hanya terisi 1-2 shaf ketika Ramadhan menjadi luber. Jalanan sepi, semua tenggelam dalam “gelombang” kesadaran; “ramadhan tiba, pembebasan api neraka, jadi manfaatkan sebaik-baiknya.

Namun ironisnya, menjelang Idul Fitri, menjelang Lailatul Qadar yang dijanjikan, orang yang beribadah ke masjid semakin berkurang. Kemana perginya mereka?

Coba tengok mal-mal kita. Parkir kendaraan mal penuh setelah maghrib, toko pakaian, perhiasan, elektronika disesaki pembeli. Ini semua didukung euphoria diskon belanja besar-besaran. Semua memanfaatkan masa Ramadhan, atas dasar pikiran bahwa “kemenangan” ditandai dengan sesuatu yang baru. Penggiringan nilai-nilai Idul Fitri melalui iklan-iklan di televisi yang gencar mulai menampakkan hasilnya.

2. Dari hiburan ke tausiyah, kembali ke hiburan

Ikon masyarakat seperti artis-artis yang biasa yampil seronok menjadi ‘alim. “Dalam rangka menghormati bulan suci”, kata mereka. Tentu saja ini menggiring masyarakat untuk mengidentifikasi pakaian muslim sebagai pakaian pakaian ramadhan dan lebaran. Bulan suci tidak untuk dihormati. Allah menciptakan Ramadhan agar kita dapat menghormati diri kita sendiri sebagai manusia dengan fitrahnya, termasuk menutup aurat dan menjadikan kita manusia terhormat. Sungguh salah kaprah.
Mari kita tengok acara- acara pengiring sahur dan berbuka di televisi. Pembagian hadiah dalam kuis- kuis, hiburan dan banyolan yang tidak islami (pria berdandan selayaknya wanita, misalnya), bahkan sinetron- sinetron yang mengusung nilai religiusitas adalah "komoditas". Ajang perebutan segmentasi iklan. Hanya beberapa yang menyuguhkan program berkualitas, misalnya Tafsir Al Mishbah. Menariknya, setelah itu, konsep kemenangan adalah konsep yang ditafsirkan ke kebebasan berekspresi.

3. Dari antroposentris, altuitris kembali ke antroposentris

Menarik bagaimana banyak yayasan-yayasan sosial berdatangan saat Ramadhan, mulai dari meminta sumbangan untuk ta’jil yatim hingga zakat. Empati sosial ini terkadang dibangun atas dasar “keterpaksaan” karena menginginkan “pahala” berlipat. Ketika pahalanya besar, bersadaqah, berzakat, membantu yatim. Nanti setelah ramadhan, bisa dikurangi, karena pahalanya tidak sebesar saat Ramadhan. Ini altruistis atau antroposentris?? Empati sosial berkedok keimanan.

Luar biasa dampak dari Topeng Ramadhan. Demi Ramadhan, mereka berubah diri dan karakternya. Merubah wujud dan wajahnya. Dengan bahasa yang lebih halus, namun agak tersendat masuk dalam kerongkongan dan mendarat tak mulus di hati masyarakat.

Mari sedikit kita renungkan, bagaimana Ramadhan kita kali ini? Terkadang kita mengenakan topeng namun tidak kita sadari. Ketika kita benar-benar bertaubat di bulan Ramadhan, sudahkah kita memang benar-benar melakukan taubatan nasuha? Ataukah hanya sekedar taubat sambal? Wallahu a’lam. Sejatinya, satu bulan Ramadhan adalah penentuan baik buruknya kita 11 bulan ke depan pasca Ramadhan.

Topeng Ramadhan bukanlah maknawiyah dari keburukan, bukan pula kiasan dari kata kejelekan. Topeng Ramadhan hanyalah ekspresi spontanitas sebagian masyarakat atas kondisi umat Islam yang membutuhkan ketenangan, membutuhkan penampilan lain demi kesucian diri dan kekhusyu’an ibadah. Tidak ada yang melarang memakai topeng Ramadhan karena sejatinya topeng hanya sebuah aksesoris untuk memperindah diri. Akan tetapi tidakkah kita malu mempersembahkan “hadiah” padaNya namun tidak dengan wajah yang sebenarnya...? Kalau untuk menegakkan kebenaran, kebenaran Ramadan, kebenaran Islam, kebenaran bersatu, kebenaran kedamaian dan kebenaran apapun, kenapa kita harus menggunakan topeng? Kini Ramadhan sedang merengkuh kita dengan berbagai kebaikan, sehingga disebutlah Ramadhan Mubarok, Ramadhan Rahmat, Ramadhan Maghfirah, dan hendaknya semuanya tidak kita ubah menjadi Ramadhan Bertopeng atau TOPENG RAMADHAN.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar